Curhatan Anak PP (Part 1): Belajar dari Sopir Bus

Indralaya- 24 Agustus 2017

Gambar hanya pemanis. Sumber: google.com

Ini adalah tulisan lama di laman fb saya yang di-upload ulang dan ditambah sedikit revisi pada pembuka dan penutup cerita. Tapi isi cerita tetap sama.

Para Pejuang PP

Menjadi mahasiswa PP alias mahasiswa yang pulang pergi dengan jarak tempuh cukup jauh dan transportasi umum memang cukup melelahkan. Namun terkadang lelah itu tak terasa ketika kita mengambil hikmah dalam setiap perjalanan. Ini adalah salah satu pengalaman yang berkesan selama menjadi Pejuang PP.

(Pukul 15.00 WIB) – Lalu lalang lautan mahasiswa Pejuang PP yang masih tersisa kini menjadi lawan berat dalam memperebutkan satu kursi. Ya, hanya satu kursi sederhana di dalam bis yang kini menjelma bak sebuah barang berharga, tak penting seberapa berdesakan dan susahnya berlari kesana kemari menghampiri bis-bis yang terpakir, tak peduli penat yang menaungi langkah kami, dan tak peduli seberapa banyak tertipu oleh bis yang ternyata telah penuh. Hanya rasa tak mau pulang terlambat dan tak kebagian bis menjadi pemacu semangat kami. Jarak rumah ke kampus yang terlampau jauh memakan waktu yang cukup lama di perjalanan. Sementara tugas-tugas di rumah terus memanggil untuk minta diselesaikan secepatnya. Waktu istirahat berkurang tak jadi hal asing lagi. Satu, dua, sampai tiga minggu pp telah membuat hal tersebut menjadi kebiasaan sehari-hari meskipun tak tiap hari.

(Pukul 15.40 WIB) – Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya sebuah bis datang menghampiri. Sontak, seluruh Pejuang PP berlarian, menanyakan kemana tujuan bis. Saya dan teman-teman pun ikut ambil bagian, sempat kecewa karena mengira tak kebagian kursi. Tapi keberuntungan masih berpihak pada kami, masih ada tempat kosong yang tersisa. Akhirnya, kami pun duduk dan menikmati awal perjalanan yang akan melelahkan itu. Tak jarang banyak yang tertidur di perjalanan untuk melepas lelahnya. Perjalanan lelah namun meninggalkan kesan tak telupa. Haha..

Saat itu saya duduk dekat sopir bis, lebih tepatnya duduk pada kursi tambahan, tapi tak apalah, yang penting bisa pulang. Di awal perjalanan sopir bis mengambil jalan lewat belakang gerbang kampus. Beliau mengatakan “Maaf ya dek kalau perjalanannya akan lebih lama. Bapak nyetirnya pelan. Sengaja juga ambil jalan belakang, biar gak macet. Karena masih banyak mobil sebab acara wisuda tadi.”

Begitu ucap sopir yang tidak saya ketahui namanya. Seulas senyum terlukis di wajahnya. Seorang bapak yang lumayan paruh baya namun masih kuat untuk menyetir bis. Meskipun pelan tak seperti bis biasanya yang mayoritas lebih cepat, namun tak apa, yang terpenting bisa sampai ke tempat tujuan. Di perjalanan, ia bercerita tentang pengalamannya, kelihatannya memang beliau orang yang cukup ramah. Bahkan temanku, Elisa tampak semangat mendengarkan ceritanya.

Tak lama, kami memperhatikan bapak itu merogoh semacam kotak kecil di depannya, ternyata ia mengambil wewangian yang kemudian disemprotkan ke tubuhnya. Sambil tersenyum ia kembali berkata, “Maaf, biar kalian gak merasa bau. Maklum, bau keringat..” Kurang lebih begitulah yang beliau katakan.

Baru kali ini saya menemui sopir bis seperti bapak ini, masih sempat-sempatnya memikirkan penumpangnya. Padahal kami sama sekali tak merasa keberatan, karena kami juga sudah tak sesegar pagi hari. Sudah bercampur bau peluh karena berlarian. Haha.. itu sudah biasa. Namun, bapak tersebut berbeda. Menurutnya, membuat penumpang merasa nyaman yang utama.

Di tengah perjalanan, rasa haus semakin terasa. Namun, persediaan air minum telah habis. Ada juga yang berkipas-kipas menggunakan buku karena udara yang pengap dan panas. Tiba-tiba sopir bis tersebut menghentikan bisnya di sebuah toko di pinggir jalan. Ia meminta penjual tersebut mengantarkan 1 dus air mineral kemasan gelas ke dalam bis. Setelah diantar, ia meminta kami semua membaginya kepada seluruh penumpang. Semua penumpang yang tak lain adalah mahasiswa pp merasa sangat senang. Segelas air kemasan sudah sangat membantu menghilangkan sedikit rasa dahaga kami. Beliau benar-benar mengagumkan, jarang sekali sopir yang merasa empati pada penumpangnya. Namun sekali lagi, tanpa kami mengucapkan haus dan tanpa melihat kami memeriksa persediaan air minum dalam tas.

Sopir tersebut telah lebih dulu mengerti apa yang kami rasakan. Alhamdulillah.. Masya Allah.. guratan rasa senang terpancar di wajah temanku yang tak henti-hentinya mengucapkan kalimat syukur berkali-kali. Ia sangat senang, yang lain pun begitu termasuk juga saya sendiri. Kami merasa sangat beruntung pada perjalanan kali ini.

Lanjut pada perjalanan, tentunya tak semua jalan lurus dan mulus, ada juga tikungan-tikungan dan lobang pada jalan. Saat melewati tikungan, sopir bis tersebut terus saja melafazkan basmalah dan tak lupa berdo’a “Ya Allah, jauhkan kami dari bala dan berilah kami rezeki.” setidaknya begitulah yang saya dengar.

Tak lama kemudian, kami hampir sampai di Bukit Besar, daerah tujuan kami pulang dan tempat dimana bis menghentikan perjalanannya.

Sebelum itu, kami terlebih dahulu melewati rambu lalu lintas. Saat itu lampu merah, kemudian tampak anak perempuan kecil dan seorang ibu-ibu menjajakan koran. Sang sopir kemudian menghidupkan klakson dan tersenyum pada si ibu.

“Gak nangis lagi bu?” tanya beliau pada ibu itu.

“Gak lagi pak” jawab si Ibu.

Kami sempat bingung awalnya. Namun akhirnya bapak sopir itu menceritakan kalau anaknya sempat menangis. Berebut ingin berdagang koran dengan kakaknya. Kalau gak salah.. ya begitu ceritanya. Karena suara sang sopir tak terlalu terdengar jelas akibat berisiknya sorak-sorak klakson kendaraan di sekitar. Anak perempuan kecil itu terlihat duduk merajuk di pinggir jalan dengan kaki tepat diatas jalan raya.

Sontak, si sopir pun menghidupkan klakson dan meminta si ibu menepikan anaknya agar tak terjadi hal yang tak diinginkan. Bahaya kan kalo anak kecil di jalan seperti itu.. kami juga sempat panik sebentar. Untungnya anak kecil itu menurut, kemudian si bapak sopir mengeluarkan beberapa lembar uang 2000-an dan diberikannya ke anak tersebut melalui jendela bis.

“Untuk jajan” kata si bapak.

“Nah, nak dikasih sama bapaknya. Makasih ya pak.”kata ibu itu tampak senang.

”Iya” balas bapak itu tersenyum.

“Subhanallah..” dengan spontan temanku berucap sedikit berbisik namun masih terdengar olehku. Memang kami benar-benar dibuat kagum oleh bapak sopir tersebut. Tak lama, lampu pun menjadi kuning dan kemudian hijau. Tandanya jalan.. bis pun kembali melanjutkan perjalanan.

(Pukul 17.32 WIB)- Akhirnya, kami pun sampai ke tempat tujuan. Beberapa temanku sujud kepada sang sopir layaknya sujud kepada seorang guru. Memang sopir ini berbeda, ia layaknya guru yang telah mengajarkan kami banyak hal yang sederhana namun begitu berharga. Pengalaman yang benar-benar tak terlupakan mewarnai perjalanan kami yang tak terlalu lama ini, hanya memakan waktu kurang lebih 2 jam. Cukup lumayan.. Sebenarnya, masih banyak hal yang terjadi pada sore itu. Namun, saya rasa tak akan cukup bila saya menceritakan semuanya. Mungkin cukup sekian ceritanya.. Eitsss tenang, ada part-part selanjutnya kok. Hehe.. Insya Allah kalau saya ada waktu luang, maka saya akan membaginya.

Nah.. bila secara ringkasnya, pelajaran yang dapat saya ambil di perjalanan sore ini adalah banyak hal sederhana yang bisa membuat orang lain senang, namun terkadang tak kita lakukan karena kurangnya empati terhadap mereka.

Maka, selagi kamu bisa melakukan hal kecil ataupun mungkin hanya membuat “senyum” kecil dari orang di sekitarmu. Lakukanlah. Karena hal sekecil itu bisa menjadi berharga bagi orang yang membutuhkannya. Jangan lupa.. untuk selalu ingat, bahwa berbagi tak akan mengurangi rezeki. Tapi justru menambah rezeki + merajut tali silaturahim yang lebih panjang hehe..

Sekian. Semoga bisa diambil hikmahnya.

15 thoughts on “Curhatan Anak PP (Part 1): Belajar dari Sopir Bus

  1. Haru. Sungguh supir bus yang sangat berbeda. Semoga Allah ampuni dosa-dosanya dan Allah cukupkan segala kebutuhannya. Apalagi ditengah pandemi ini, kampus layo sudah 3 bulan lebih libur. Beliau pasti sangat terdampak 😦

    Like

  2. Masyaallah, makasih udah nyeritaain ini. Jadi dapat pelajaran juga walaupun gak nyaksiin langsung.

    Like

  3. Duh jadi keingat sama Bapak Bis Baik yang sering banget nganter kami ketika ada agenda. Bahkan Ketika agenda lebaran idul adha ke desa pun, bapak itu mau nganter kami. Sering juga kami di beliin minum dan permen ketika dalam perjalanan. Makanya kami sebut ia Bapak Bis Baik. Di fkip nyaris selalu minta tolong beliau ketika ada agenda. Sama gak ya bapaknya?
    Btw, aku salut banget sama pejuang PP. Aku yang anak kost aja, kadang merasa capek banget. Apalagi anak PP ya dengan segala perjuangan demi sebuah kursi bis, belum lagi sampe rumah jam berapa, nugas juga, serta besoknya berangkat pagi. Duh semangat pejuang PP 🙂

    Like

  4. Cerita PP berebut kursi seperti ini. Ku rasa, hanya berlaku pada mereka yang mau naik bus ke Bukit. Kami yang bus Kertapati, santai saja. Hahah.
    Btw, aku sdh lama tak lihat rupa bus berwarna hijau. Sebab sekarang tampilannya sdh berubah jadi kuninng

    Like

  5. Koment saya rada sama sih dengan Rena, kisah ini mengingatkan saya dengan salah satu mamang sopir bis yang pernah numpangin kami gratis saat baru pulang dari Semarang. Tidak hanya itu, beliau juga sering mengantar kami berbagai agenda, seperti yg diceritakan Rena.

    Like

Leave a comment